KOMPAS.com — Selama
bertahun-tahun, Ngatijan (56) merasa tidak nyaman dengan tumpukan
kotoran sapi yang tidak terpakai di kampungnya di Dusun Margaraya, Desa
Lurung, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, Provinsi Lampung.
Onggokan
kotoran sapi di sana kian hari kian menumpuk mengingat hampir setiap
warga di kampung tersebut memiliki sapi untuk membajak sawah.
Pada
tahun 2004, lelaki kelahiran Daerah Istimewa Yogyakarta ini pun
mencoba memanfaatkan kotoran sapi yang terserak di kampungnya untuk
membuat pupuk organik.
Awalnya, usaha Ngatijan jatuh bangun.
Maklum, tidak mudah mendapatkan pasar pupuk organik di tengah masih
populernya pupuk kimia dan kuatnya permainan mafia pupuk.
Mula-mula
ia hanya bisa memproduksi puluhan ton per bulan. Namun, dengan
keuletan dan kerja keras, saat ini Ngatijan bisa memproduksi pupuk
organik hingga 500 ton per bulan.
Tenaga kerjanya yang awalnya
hanya 5 orang kini berkembang menjadi 20 orang. Dengan harga pupuk
organik sebesar Rp 500 per kilogram, omzet Ngatijan bisa mencapai Rp
250 juta per bulan.
Kejelian dan kerja kerasnya memproduksi pupuk
organik tidak hanya menguntungkan dirinya sendiri. Sekitar 500 petani
yang tinggal di kampungnya dan kampung sekitarnya kini juga bisa
menangguk tambahan penghasilan dari kotoran sapi.
Ngatijan tidak
mengambil kotoran sapi itu cuma-cuma, tetapi menghargainya dengan uang.
Kotoran sapi yang sebelumnya dianggap masyarakat kurang bermanfaat
ternyata bisa menjadi duit di tangan Ngatijan.
Meskipun tidak
besar, tambahan penghasilan tersebut cukup untuk menambah modal usaha
tani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat kampung.
Usaha
pupuk organik Ngatijan melambung ketika pemerintah mengeluarkan program
Bantuan Pupuk Pemerintah (BPP) untuk petani miskin tahun 2009. Pabrik
dan distributor pupuk besar yang diminta menyalurkan BPP, seperti PT
Pertani dan PT Sang Hyang Seri, pun bekerja sama dengan produsen
pupuk-pupuk organik skala menengah dan kecil.
Suami dari Sudarti ini pun menangkap peluang tersebut dengan ikut serta menjadi pemasok pupuk organik dari kotoran sapi.
Proses
produksi pupuk organik dimulai dengan mengumpulkan bahan baku berupa
kotoran sapi dari para penduduk. Untuk meningkatkan motivasi dan
semangat petani mengumpulkan dan mengeringkan kotoran sapi, Ngatijan
biasanya membayar di muka atau mengijon kotoran sapi tersebut.
Harga
kotoran sapi yang telah dikeringkan selama seminggu sekitar Rp 40 per
kilogram. Jadi, dengan dua sapi, satu keluarga petani biasanya bisa
memperoleh upah sekitar Rp 50.000 per bulan.
Selanjutnya, kotoran
sapi yang telah kering diangkut dari rumah-rumah penduduk ke tempat
produksi, yang terletak di areal persawahan, tak jauh dari rumah
Ngatijan.
Proses pupuk organik
Untuk
membuat pupuk organik, kotoran sapi tersebut dicampur bahan lain dengan
komposisi: kotoran sapi sebesar 80-83 persen, serbuk gergaji 5 persen,
bahan pemacu mikroorganisme 0,25 persen, abu sekam 10 persen, dan kapur
2 persen.
Campuran ini kemudian dibiarkan selama satu minggu
sembari dibolak-balik untuk menjaga kadar oksigen. Setelah selama satu
minggu, pupuk organik biasanya telah matang dengan warna pupuk coklat
kehitaman bertekstur remah dan tidak berbau.
Langkah berikutnya,
pupuk diayak atau disaring untuk mendapatkan bentuk yang seragam serta
memisahkan dari bahan yang tidak diharapkan, seperti batu, potongan
kayu, atau tali rafia, sehingga pupuk organik yang dihasilkan
benar-benar berkualitas.
Pupuk organik selanjutnya dimasukkan ke
dalam karung kemasan 50 kilogram yang telah disediakan dan diberi label
oleh distributor sebagai pupuk bantuan dari pemerintah.
Pupuk
organik yang telah dikemas tersebut kemudian diambil oleh distributor
pupuk untuk disalurkan secara gratis kepada para petani sebagai
pengganti pupuk kimia di kawasan Lampung dan sekitarnya.
Pria
yang hanya lulusan sekolah dasar ini mengatakan, keberhasilan usahanya
tidak terlepas dari bantuan Swamitra, lembaga keuangan mikro yang
dibentuk koperasi dengan bantuan dana dan manajemen dari Bukopin.
Dengan
pinjaman dana dari Swamitra, Ngatijan bisa membeli bahan baku kotoran
sapi dari petani dalam jumlah besar dan membangun tempat produksi serta
membeli mesin penggiling. Dengan bantuan Swamitra pula, Ngatijan tidak
sampai terjerat tengkulak yang biasanya mematok bunga selangit.
Ke
depan, bapak enam anak ini berencana meningkatkan kapasitas
produksinya dengan menambah mesin penggiling dan memperluas areal
produksi serta menambah tenaga kerja. Harapannya, ia bisa memproduksi
sekitar 1.000 hingga 2.000 ton setiap bulan agar bisa memenuhi
permintaan yang selama ini tidak bisa dipenuhinya.
Maklum,
Ngatijan juga ingin lebih banyak menjual pupuk organik ke pasar
komersial. Menurut dia, pupuk organik yang dijual secara komersial
harganya bisa lebih tinggi dibandingkan dengan dijual sebagai pupuk
bantuan pemerintah.
Jika produksinya meningkat, Ngatijan tentu
juga bisa lebih banyak menggandeng petani di kampung-kampung sekitarnya
untuk dibeli kotoran sapinya sehingga lebih banyak lagi kesejahteraan
petani yang terangkat.
Pemesanan pupuk organik
https://pupukorganiklampung.blogspot.co.id/p/harga.html
butuh ekspedisi kunjungi :
http://lampung-ekspedisi.blogspot.co.id